Penumpang, Kesombongan, dan Amnesia

Hmm ... gara-gara lama nggak nge-blog kayaknya bikin saya rada goblo* nih. Jadi nggak perlu deh pake kalimat-kalimat (sok) bijak untuk membuka posting random pertama di bulan Maret 2017 ini. (Bilang aja males mikir)

Oke, jadi sebenarnya saya pengin cerita. Pagi ini, seperti biasa sebelum nulis content di blog baru yang saya urus, blog milik salah satu pusat kerajinan tembaga dan kuningan di Tumang Boyolali, saya melakukan sedikit riset di google. Biasalah, mengecek persaingan keyword di google dan melihat seperti apa hasil penelusurannya dengan keyword terkait. Dan sesuai dengan konten yang akan saya bikin, saya mengambil keyword seputar replika pintu nabawi.

Lalu ada apakah gerangan kok saya sampai nulis kegiatan remeh tersebut di blog? Nah. Pas googling gambar dengan keyword tersebut, saya nemu 1 gambar replika pintu nabawi yang cukup familiar. Seperti mengalami de javu, deja vu, de ja vu(?) entahlah. Pokoknya kurang lebih perasaan seperti pernah melihat foto tersebut entah di mana. Dan setelah melakukan scan memory di otak, bohlam lampu 5 watt saya pun menyala. Menampilkan ingatan tentang desain replika pintu nabawi yang pernah saya buat entah berapa tahun yang lalu. Desain yang serupa dan sama.

Tiba-tiba saja ada perasaan aneh yang bergolak di batin saya. "WTF?!" "Kok bisa sampe di situ sih?!". Ya, kurang lebih begitulah respon saya. Dalam hati. Tapi kalau dirangkum, ada 2 kubu perasaan yang bisa dikelompokkan. Yang pertama, perasaan patah hati. Nggak perlu dijelasin lah ya~. Yang kedua, perasaan senang. Karena desain yang (kayaknya) pernah saya buat, hasilnya benar-benar di luar ekspektasi saya sendiri.

Well, demi menjaga kesehatan otak dan hati supaya nggak kena racun, saya lebih memilih perasaan yang kedua. Menikmati setiap lekuk dan guratan '3D' yang sebelumnya hanya sebatas cetak biru digital. Memang awalnya ada perasaan tidak terima karena saya merasa 'memiliki' desain tersebut. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, kok, rasanya saya sombong amat. Cuma bisa menggambar di Corel kok udah sok gaya-gayaan. Apalagi perasaan sok 'memiliki'.

Memang benar ya, eksklusivisme seringkali membuat manusia lupa dan terbuai karena merasa memiliki apapun. Tapi pada akhirnya justru membuat kita merasa selalu kurang. Dan lebih sering merasa gelisah daripada bahagia. Takut kehilangan. Seolah 'milik kita' selalu dirampok tiap detiknya. Padahal kita sebenarnya nggak memiliki apa-apa. Dan setelah tahu kalau kita aslinya nggak punya apa-apa, lalu apa lagi yang mau kita sombongkan? Aduh, pengen banget minta ampun. Entah sama siapa.

Berkaca pada cerita saya, yang entah bisa disebut cerita atau tidak, dan terlebih lagi relevan atau tidak, kita sebaiknya tetap sadar kalau kita ini cuma manusia. Makhluk yang diusir dari langit, lalu numpang hidup di bumi. Dan seolah amnesia kalau cuma numpang, manusia berubah jadi parasit untuk bumi yang begitu kejam. Jauh lebih kejam dari fitnah. Itu baru dilihat dari relasi manusia-bumi. Kalau dilihat dari relasi manusia-manusia, wah ... saya nggak bisa ngomong apa-apa.

Intinya, sekali lagi, ingatlah kalau kita ini cuma manusia. CUMA MANUSIA. Kita tidak punya hak apapun untuk sok merasa lebih tinggi dari makhluk lain. Apalagi merasa lebih tinggi dari sesama manusia. Kita ini cuma numpang. Dan apa yang kita punya sekarang ini cuma sulap. Titipan. Besok mau diambil yang punya, Yang Maha Memiliki pun bisa. Jadi ingatlah. Kita cuma manusia.

~ manusia yang sedang merutuki kesombongan dirinya
Share:

ngebaper dulu ah~

Hei, apa kabar? Meski kamu enggan mengetahuinya, tapi aku ingin memberitahumu kalau aku cukup baik. Hm ... tadinya ingin memberitahumu kalau aku sedang tidak dalam keadaan baik. Lalu kamu akan bertanya "kenapa?" dan aku akan menjawab "karena nggak ada kamu di hari-hariku~" dengan nada manja childish yang unyu-unyu nggilani. Tapi ... ah, rasanya benar-benar awkward. Terlebih setelah beberapa minggu ini jarang bertegur sapa. Eng ... mungkin baru hari Minggu waktu itu ya kita saling sapa? Hanya beberapa baris.

Bagaimana pekerjaanmu? Tetap lancar meski sering mendapati suara-suara tak jelas seperti biasanya? Hm ... selama lancar dan dapat teratasi seperti kamu yang biasanya, itu sudah cukup. Karena kamu luar biasa. Selalu. Ditambah, kuliahmu juga sudah mulai lagi. Ya ampun ... kamu benar-benar super sibuk, ya. Tapi kamu tetap bisa mengatur waktu dengan baik. Aku kagum. Tapi sedikit kecewa. Kecewa yang sebenarnya datang karena tindakanku.

... iklan ...

Tapi setidaknya ... hal itu cukup untuk memberimu gambaran seperti apa diriku yang selama ini terselubung persona "seorang pendiam yang terlihat dingin". Dan seperti katamu, tak akan ada yang menyangka kalau ternyata aku cukup jauh berbeda dari kelihatannya. Aku bukanlah seperti yang kamu, dan kebanyakan orang, pikirkan. Ehehehe. Aku sendiri pun terkejut. Gunung es selalu menyimpan sesuatu yang lebih besar di bawah permukaan laut.

Sudah sudah, aku sedang tidak ingin membahas diriku. Lagipula, kamu pasti bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin aku sampaikan? Kamu membacanya sampai sini? Aduh, lagi-lagi aku mengambil bermenit-menit waktumu yang berharga. Ya sudah, akan kupersingkat saja.

Dear ... kamu begitu bersinar dan penuh warna. Kamu benar-benar sosok yang selama ini aku kagumi. Kamu bisa mengatasi semua masalah yang ada dengan baik. Melewati waktu-waktu sulit dengan tegar. Tetapi tetap bisa tersenyum dan tertawa menikmati setiap jeda dengan penuh bahagia. Mungkin itu adalah satu dari sekian hal yang membuatku menyukaimu. Kamu begitu kuat. Kamu mandiri. Dan ... kamu tidak membutuhkanku. Jadi, betapa beruntungnya aku ketika kamu yang seistimewa itu bisa menjatuhkan hati kepadaku. Aku beruntung, dan benar-benar bahagia. Aku pun berharap, kebahagiaan akan selalu mendatangimu. Entah dari mana arahnya. Doa-doaku selalu mengantri di belakang doa-doa orang tuamu.
Tak hanya penuh warna dan bahagia, kamu pun juga mampu memberikan pacuan semangat. Ketika goyah dan terjatuh, kalimat-kalimat yang kamu sampaikan agar aku percaya pada diriku, sedikit banyak mampu membesarkanku. Sedikit. Tapi sesedikit apapun, bagiku berarti banyak. Kamu sudah peduli padaku. Di selang waktu-waktu yang padat itu,  kamu bisa menguatkanku. Terima kasih banyak. =]
Kadang di momen tertentu, aku mengira-ira apa yang akan terjadi jika kembali kuucapkan kalimat-kalimat manis yang seperti dulu. Ketika kita masih belum terhubung dan tak mempermasalahkan batas apapun. Serta ketika kita baru terjalin dan sedang mulai melanjutkan cerita. Apakah masih bisa kamu terima? Ah, ya Tuhan ... menyebalkan sekali rasanya mendapati simulasi itu. Kadang aku berharap persona "sedingin es" bukan sekadar persona, tetapi juga ada sebagai sifat dan sikap di dalam diriku.
Aku bersyukur bisa merasakan bagaimana dekat denganmu. Setelah menyampaikan semua yang ingin disampaikan, entah melalui tulisan ini atau melalui berbagai pesan sebelumnya, aku harus bisa merasa cukup lega.

Apa yang sudah kamu beri, yang kini kumiliki, akan tetap ada. Dan semua yang masih tersimpan untukmu, yang memang hanya untukmu, akan selalu aku jaga.

Sekali lagi, dari titik terdalam hatiku, kuucapkan ... terima kasih. =]

****

Ps. I love you

~ such a random post. karena tak ada lagi tempat selain di sini. di mana aku bisa berbicara dengan diriku sendiri.
Share:

Gloomy Spring | A Hyouka FanFiction

Gloomy Spring

“Ini teh anda, o hime-sama,” ucap seorang pemuda berpakaian pelayan sambil meletakkan sebuah nampan dengan secangkir teh di atasnya.
“Oreki, kita hanya berdua. Apa kau lupa dengan permintaanku waktu itu?” Seorang gadis dengan rambut panjang yang hitam berkilau nampak merajuk. Memasang wajah yang ditekuk.
Oreki Houtarou, pemuda itu, hanya bisa menghela napas mendengarnya. “Baik-baik. Maafkan aku, Chintanda.” Chintanda Eru, tersenyum. Dia meraih cangkir itu lalu meminumnya hingga tersisa setengah, lalu meletakkannya lagi.
“Jadi, bagaimana perkembangan terakhir dari novel yang kau tulis? Aku dengar sudah memasuki bab terakhir?” Oreki sudah bisa menduganya. Sebuah pertanyaan pembuka yang akan menarik lebih banyak pertanyaan baru jika dia tidak pandai-pandai mencari jawaban yang ‘tepat’.
“Hampir selesai. Tinggal memasukkan unsur kejutan sebagai pukulan terakhir lalu membuat ending yang sesuai agar tidak menghancurkan keseluruhan cerita.” Oreki menjatuhkan dirinya di teras kayu di depan pintu kamar Chitanda. Matanya menatap kosong halaman belakang yang luasnya hampir setara dengan rumahnya.
“Unsur kejutan? Pukulan terakhir?” Chitanda tak henti-hentinya menggumamkan kata-kata itu. Sesuatu yang asing bagi orang sepertinya. Tanpa disadari Oreki yang masih menikmati kekosongan dalam lamunan, Chitanda merangsek mendekati pintu. Mendekatinya.

Oreki menoleh, mendapati Chitanda yang kepayahan bergerak dengan selimut yang masih membungkus tubuhnya. Reflek, dia bangkit kemudian meraih tubuh lemah itu ke dalam pelukannya. Menuntunnya kembali ke futon yang masih hangat karena baru saja ditinggalkan beberapa menit saja.

“Jangan sembrono, Chitanda! Lain kali panggil saja aku! Kau tidak perlu susah payah bergerak seperti ini!” Nampak kegusaran di wajah Oreki yang biasanya hanya menampilkan ekspresi datar seperti kayu dengan mata seperti milik ikan mati. Dan semua itu tertangkap jelas oleh iris ungu Chitanda yang pelupuknya mulai terasa panas. Sementara Oreki, dengan lembut membantu Chitanda rebah lalu menyelimutinya.

Hening memasuki kamar luas itu. Mengubah musim semi yang seharusnya terasa hangat menjadi dingin dan menusuk. Setidaknya di antara Oreki dan Chitanda. Membawa mereka ke dalam lamunan masing-masing. Namun, apa yang mereka pikirkan kurang lebih sama

Mereka bertemu di awal musim dingin ketika keluarga Chitanda sedang mencari pelayan pribadi untuk merawat Chitanda yang memiliki kondisi tubuh yang lemah. Di saat itulah Irisu Fuyumi, putri dari salah satu kenalan keluarga Chitanda mengenalkan sosok Oreki Houtarou kepada mereka.

Awalnya, keluarga Chitanda kurang menerima karena mereka menghendaki pelayan wanita. Tapi setelah diyakinkan oleh Irisu, mereka pun luluh. Akhirnya, Oreki pun bekerja sebagai pelayan pribadi sekaligus penjaga Chitanda Eru, sang tuan putri. Dan ketika mereka hanya berdua saja, Oreki akan berubah menjadi sosok yang lain. Seorang teman. Seorang yang selalu menceritakan hal-hal menarik. Seorang yang tak pernah jemu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dia tanyakan sekalipun itu membosankan. Dan, yang tidak diketahui oleh banyak orang, bahkan oleh Oreki, Chitanda sudah menganggapnya sebagai sosok yang sangat dia kagumi. Yang dia cintai.

Yang belum lama ini terjadi, adalah ketika pohon sakura di halaman belakang mekar. Mata ungu Chitanda tiba-tiba bersinar dan sama sekali tidak menyiratkan sorot mata seseorang dengan keadaan yang sangat lemah. Dan dengan rasa keingintahuannya yang sangat besar, Chitanda memberondongnya dengan berbagai pertanyaan tentang sakura.

“Oreki, kenapa pohon itu baru mekar di musim semi?”
“Oreki, apakah dia bisa mekar di musim lain?”
“Oreki, kenapa warnanya bisa seindah itu?”
“Oreki, bagaimana rasanya duduk di bawah sana?”
“Oreki, maukah kau duduk di sana denganku?”

Ah, pertanyaan terakhir itu sepertinya hanya ada di dalam ruang imaji Oreki yang saat ini tiba-tiba terkekeh. Dia sudah kembali dari lamunannya. Dari ekor mata, dia dapat melihat wajah Chitanda yang nampak sedang tertidur. Dia menghela napas. Memerintahkan kepanikan yang tadi sempat merayapinya agar segera pergi dan menghilang. Lalu dia teringat sesi penutup tanya jawab saat itu. Perubahan peran. Oreki menjadi bagian penanya.
***
“Chitanda. Apakah kau merasa bahagia menjalani hidup seperti ini?” Sebuah pertanyaan yang langsung mengenai sasaran. Chitanda seperti tertohok. Ada rasa menyesal yang muncul di hati Oreki. Ingin sekali dia meralat pertanyaan itu, tapi buru-buru dia batalkan ketika Chitanda sudah mulai bicara.
“Aku tidak bahagia.” Oreki tercekat.
“Chitanda, maaf. Kau tidak harus-“
“Hanya bisa terbaring di sini menunggu belas kasihan orang lain. Tidak bisa menjalani hidup layaknya orang normal. Aku sama sekali tidak bahagia, Oreki. Terkadang, aku benar-benar ingin mati.” Chitanda tersenyum. Sebuah senyum penuh kegetiran.
“Tapi … baru-baru ini aku mulai merasa bahagia. Terlebih setelah kau hadir.” Kalimat terakhir diucapkan dengan suara yang amat lirih. Membuat Oreki harus memelengkan kepalanya untuk berusaha menangkap suara itu.
“Ha?”
“Oreki. Aku ingin menjadi seperti sakura. Meskipun hanya mekar di musim semi dan lenyap bahkan sebelum musim semi berakhir, sakura selalu bisa terlihat indah. Begitu hidup. Dan saat ini, aku merasa benar-benar hidup, Oreki. Terima kasih.” Chitanda menutup kalimatnya dengan sebuah senyuman yang nampak begitu bersinar di mata Oreki.
“Terima kasih?” Oreki tidak mengerti. Chitanda seolah enggan menjawab ketidakmengertian Oreki dan hanya tertawa kecil.

***

“Kau belum menghabiskan tehmu,” ucap Oreki lirih sambil menarik nampan dengan secangkir teh di atasnya. Yang sudah dingin.

Tepat sebelum dia bangkit dan beranjak dari sisi Chitanda, Oreki merasakan sesuatu yang menarik ujung lengan panjang bajunya. Tangan mungil Chitanda. Sebuah tarikan yang sangat lemah, yang meskipun dapat dengan mudah dilepas, Oreki memilih untuk kembali duduk. Meraih tangan itu lalu menggenggamnya. Erat.

“Maafkan aku, hime. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.” Oreki mengangkat tangan itu ke depan wajahnya lalu menciumnya. Lembut. Membuat Chitanda terbangun tanpa disadari.
“Oreki?” ucap Chitanda lirih. Oreki menyambut wajah yang masih dikuasai kantuk itu dengan sebuah senyuman. Berusaha menyamarkan air mata yang tadi sempat jatuh.
“Maaf sudah membangunkanmu.”
“Oreki, bolehkah aku meminta kau melakukan sesuatu?” tanya Chitanda. Ada keraguan yang tersirat di dalam suara itu. Juga kelemahan.
“Kenapa kau harus bertanya? Apapun akan kulakukan untukmu hime- Chitanda. Apa itu?” Oreki membantu Chitanda untuk duduk.
“Tolong bawa aku keluar. Ke bawah pohon sakura itu.” Sebuah permintaan sederhana yang terlontar dengan suara yang seolah sedang meminta kehidupan. Oreki merasakan ada yang tidak beres. Tapi dengan segenap tenaga, dia berusaha mengabaikannya.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Oreki mengangkat tubuh Chitanda dari futon. Membawanya dengan perlahan keluar dari ruangan luas yang terasa sunyi itu. Tubuh lemah itu terasa begitu ringan dan juga rapuh. Dengan mantap, Oreki terus berjalan melewati pintu, menuju jalan setapak di halaman belakang itu, lalu berhenti di bawah kelopak-kelopak sakura.

“Kita sudah sampai.” Dengan perlahan, Oreki menurunkan Chitanda. Membiarkannya duduk bersandar di batang kokoh sakura. Lalu dia jongkok bertumpu satu lutut di hadapannya.
“Oreki, maukah kau mendengarkan permintaanku?”
“Tentu, akan kudengarkan.”
“Tapi … tolong dengarkan permintaan ini sebagai sebuah permintaan dari seorang Chitanda Eru, seorang gadis biasa bukan seorang tuan putri. Dan aku meminta jawaban dari seorang Oreki, bukan seorang pelayan tuan putri. Bisa?”

Napas Oreki tertahan. Sebuah permintaan bersifat personal!

“Y-Ya.” Oreki tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.
“Oreki Houtarou. Aku …”
Sesak mulai memenuhi seisi dada Oreki. Terlebih ketika tubuh Chitanda mulai condong ke arahnya. Tak lagi bersandar.
“… selama ini …”
Detak jantungnya mulai berakselerasi.
“… aku men-“

Chitanda ambruk di pelukannya. Tepat sebelum kalimat itu selesai diucapkan. Jantung Oreki seperti hendak melompat keluar. Dengan sigap dia meraih bahu Chitanda dan memeriksa raut mukanya. Sangat pucat dengan napas yang tersengal. Denyut nadinya juga sangat lemah. Dan semakin lemah.

“Chitanda! Bertahanlah! Chitanda!!”

***

Oreki yang masih dibalut setelan hitam-hitam duduk sendirian di teras kayu di depan kamar Chitanda. Matanya menatap kosong halaman luas yang kini terasa jauh lebih kosong. Hanya pohon sakura yang saat ini sedang mekar, satu-satunya entitas tersisa yang bisa dia nikmati. Meskipun, tidak dapat dipungkir, warna sakura yang mekar musim semi kali ini jauh berbeda. Terlihat kusam. Abu-abu. Itulah yang ditangkap oleh mata sembab Oreki.

Di tangan kanannya, sebuah buku berukuran sedang dengan halaman yang tak terlalu tebal terbuka tepat di bagian tengahnya. Mata Oreki sudah beralih dari sakura kusam di hadapannya ke sebuah kertas kecil berisi pesan singkat yang ada di halaman itu.

Terima kasih atas peran yang kau mainkan.
Dengan ini, kau dan keluargamu bebas dari semua hutang dan hukuman.
Kau boleh pergi sekarang.

Oreki menggigit bibirnya. Mengambil kertas kecil itu lalu meremasnya. Dengan langkah gontai, dia berjalan mendekati pohon sakura yang masih mekar. “Novel” yang dia tulis benar-benar selesai. Dengan kematian sang putri sebagai puncak cerita, kisah roman itu benar-benar akan menjadi sebuah kisah yang menyentuh. Tidak hanya menyentuh, tetapi juga mencabik-cabik dan membuat hati setiap pembacanya hancur. Dan kini, Oreki sedang mempersiapkan ending-nya.

Dengan tatapan mata yang kosong, Oreki mengeluarkan sebuah pisau dari saku jaketnya. Kepalanya mendongak. Mengizinkan matanya menatap kelopak-kelopak sakura itu terakhir kali dengan bulir-bulir air mata yang menetes. Dengan satu gerakan, dia menghujamkan pisau itu ke dada kirinya. Tepat mengenai jantungnya. Beberapa detik kemudian, tubuhnya terhempas ke tanah. Sebuah kelopak sakura jatuh di atas wajahnya yang tersenyum bahagia.


Maafkan aku, cinta
Seharusnya aku meminum teh beracun yang tersisa saat itu juga
Agar aku bisa menghadapi kematian bersamamu
Bukan menghadapinya sendirian seperti ini
Semoga di kehidupan berikutnya nanti, aku bisa kembali bertemu denganmu
Bukan sebagai sosok yang berperan sebagai pencabut nyawa
Tapi menjadi seseorang yang mencintaimu
Tanpa kebohongan
Tanpa motif
Tanpa kepura-puraan
Murni sebuah kejujuran
Mencintaimu karena … aku mencintaimu

~ fin ~
Share:

Liburan, Nostalgia, dan Vandalisme | CatatanDolan

CatatanDolan. Liburan 24-25 Desember 2015 lalu, saya menyempatkan diri pergi main ke Ambarawa. Niat awalnya sih pengin ke tempat simbah (nenek -red) karena pas lebaran saya nggak ke sana. Dan niat lainnya sih sengaja refreshing cari suasana baru. Sementara niat tersembunyinya adalah ada rindu. Eaaa~ tapi bukan rindu kepada seseorang, karena seseorangnya bukan di Ambarawa. Rindu yang saya maksud adalah rindu pada kampung halaman.

Karena saat itu (sekarang juga masih) saya belum punya kendaraan sendiri, kendaraan yang laik untuk jalan jauh maksudnya, saya pergi dengan menggunakan kendaraan umum. Bus. Untuk bisa sampai di Ambarawa, dari rumah yang ada di Boyolali, perlu 2 kali ganti kendaraan. Yang pertama ganti dari Bus pedesaan dengan Bus kota jurusan Ambarawa di terminal Tingkir, Salatiga. S-a-l-a-t-i-g-a.

Sampai di Salatiga, tepatnya terminal Tingkir, saya nggak langsung naik bus jurusan Ambarawa, tapi mempekerjakan kaki dan memanjakan mata serta ingatan di sepanjang jalan Salatiga. Ngapain? Nostalgiaa~~~




Apa yang dinostalgiakan? Suasananya. Muehehehe. Sempat mengenal kota Salatiga selama 3 tahun semasa SMP dulu, dan punya cukup banyak kenangan yang bisa diingat. Kenangan bocah SMP tentunya.

Lanjut~~

Setelah puas, sebenarnya sih karena capek, saya naik bus jurusan Ambarawa dari pasar sapi. Ee ... dikenalnya dengan nama 'pasar sapi', tapi seingat saya nama resminya adalah 'Pasar Rejosari' #cmiiw.

Butuh waktu sekitar 30-45 menit dengan bus dari Salatiga sampai Ambarawa. Dan checkpoint saya adalah Pasar Projo. Pasar tradisional yang beberapa waktu lalu sempat jadi santapan si jago merah. Tapi sudah diperbaharui dan tampilannya juga jadi lebih gagah. Hm ... pasar yang terbakar selalu memunculkan teori konspirasi sih. Antara 'terbakar' atau sengaja dibakar supaya bisa direnovasi.

Cucok yak?
Oke, saya jadi merasa kurang kerjaan banget kalau mengingat-ingat kenapa turun di Pasar Projo kalau ujung-ujungnya nggak masuk, malah jalan kaki sekitar 500 meter ke Monumen Palagan. Padahal bisa aja langsung turun di Palagan. Ya ampun *tepukjidat*

~ skip aja ya, mari kita langsung masuk ke Palagan ~

Yak! Monumen Palagan Ambarawa! Salah satu penanda kalau kota Ambarawa dulu adalah satu medan pertempuran melawan penjajah Belanda. Jujur, saya sudah lupa seperti apa kisahnya. Hanya samar-samar, yang saya ingat adalah mengenai 'serangan sumpit udang' yang dipakai oleh para pejuang untuk memukul mundur penjajah. Dan yang jadi memorable adalah ditetapkannya tanggal 15 Desember sebagai Hari Infanteri. *toss*

Tiket masuk ke Palagan tergolong murah banget. Ketika saya berkunjung ke situ, karena kebetulan hari libur, ada tempelannya sih, harga tiket masuknya naik jadi Rp. 5000,-. Wah, jadi kalau hari biasa berapa harganya? Hm ...

Monumen Palagan Ambarawa bisa dibilang memiliki bentuk 'taman' di dalamnya. Monumen utama yang terletak di tengah-tengah areal, sebagai pusatnya, dikelilingi berbagai senjata meriam serta beberapa kendaraan perang jaman dulu seperti tank, truk pengangkut tentara, lokomotif dan gerbongnya, serta sebuah pesawat tempur. Dan di belakang monumen terdapat taman dan arena bermain kecil yang biasa dipakai oleh anak-anak.

Monumen Palagan Ambarawa, tampak depan
  
Area Belakang Monumen
Oh iya, tepat di sebelah kiri pintu masuk, ada bangunan kecil dengan penunjuk nama 'Museum Isdiman'. Di dalamnya tersimpan berbagai senjata tangan juga baju seragam. Tapi ... sungguh kecil dan kurang menarik perhatian.

Museum Isdiman, rasanya kurang 'nendang'
Jujur saja, saya cukup excited ketika masuk ke Palagan. Karena terakhir kali saya ke situ, sebelum kunjungan ini, adalah saat saya masih duduk di bangku TK. Fotonya kapan-kapan yak. Tapi ada satu dan lain hal yang membuat saya merasa sedikit kecewa. Salah satunya adalah pesawat yang ternoda.

Terlepas dari tai apa yang sebenarnya mengotori pesawat itu, ada perasaan 'nyesek' ketika tahu kalau properti museum keadaannya seperti itu. Dan lebih 'nyesek' serta 'shock' ketika saya iseng naik ke salah satu gerbong kereta yang letaknya di belakang monumen. Bagian luarnya kelihatan gagah dan 'garang' dengan coretan-coretan pengobar semangat.



"MERDEKA ataoe MATI!"
"HANTJOERKAN MOESOEH KITA"
Sungguh gagah dan 'garang' kan?
 Tapi ketika saya 'melompat' naik dan masuk untuk memeriksa bagian dalamnya ... *bunyidrum*

Tadaaa ... VANDALISM!

Tadaaa ... VANDALISM! (lagi)
"NANI KORE!" Teriak saya dalam hati. Ketika dari luar sudah nampak keren dan sesuatu, di bagian dalamnya justru terlihat ... euh, lebih 'sesuatu'. Tindakan coret-coret yang, mungkin bagi adik-adik pelakunya, terlihat keren dan oke. Tapi sebenarnya tindakan tersebut sama saja menggambarkan tindakan tidak menghormati dan menghargai jasa para pejuang yang sudah mengorbankan semua yang mereka punya demi negara saat ini. Kan nggak keren. SAMA SEKALI!

Selain di gerbong kereta, ada juga di badan pesawat yang tadi kena target 'tai-tai' tak bertanggung jawab. Bedanya, pelaku coret-coret di pesawat sepertinya sedikit lebih 'berjiwa seni'. Kenapa? Coba kita lihat.

Coldplay cyiiin!

Yang ini Frenteeee!
Padahal udah ada tulisan kayak gini *hyperfacepalm*



Yaaa ... meskipun saya sendiri adalah warga negara yang nggak begitu baik, tapi saya masih punya kesadaran dan juga 'rasa' supaya tidak melakukan tindakan-tindakan yang 'merusak' fasilitas umum. Apalagi fasilitas monumen dan museum yang notabene adalah sebuah memento bagi kita yang masih hidup dan sudah menikmati indahnya kemerdekaan bahwa dulu, di negara kita pernah terjadi sebuah peristiwa besar. Sebuah peristiwa besar yang tidak hanya menjadikan Indonesia merdeka, tetapi juga membuat para pelaku di dalamnya kehilangan berbagai hal, entah itu harta bahkan nyawa. Dan kita yang tinggal menikmati hasilnya malah bertindak seenaknya? *kunyahlaptop* *muntahinlagi*

Sudah sudah, mari kita merefleksi diri kita masing-masing. Bukan cuma fasilitas monumen dan museum, tapi semua yang ada di Indonesia. Ketika kita bepergian, berwisata, bertamasya, 'nge-trip', naik gunung, dan berbagai sebutan lainnya, mari sama-sama selalu mengingat dan membiasakan satu hal di diri kita sendiri. Jangan pernah merusak fasilitas di tempat yang kita kunjungi. Jangan pernah secara seenaknya membuang sampah sembarangan. Mungkin kita tidak akan merasakan efeknya secara langsung, tapi bagaimana di masa depan nanti?

===



~ Sumber foto : Instagram dan dokumentasi pribadi penulis.
Share:

You Can [Not] Forget

You Can [Not] Forget


Aku masih dapat mengingatnya. Punggung milik gadis yang apabila marah bisa membuatku berdarah-darah. Punggung milik gadis yang satu senyumnya mampu membuat sekujur hatiku leleh tak berdaya. Punggung rapuh yang jika kudekap terlalu erat dapat membuatnya pecah berserak. Aku masih dapat mengingatnya dengan jelas.

Di bawah langit malam, tepat beberapa menit sebelum kalender di dinding kamarku habis masa pakainya, gadis berkacamata itu memalingkan tubuhnya dariku. Membiarkanku tenggelam dalam tanya, apa yang sebenarnya dia inginkan sampai harus menarikku ke sini? Aku menyelam mencari jawabannya sendiri. Gadis yang selalu mengagumkanku. Gadis yang tak lain adalah dirimu.

Jika kau tidak menarik tanganku, mungkin aku sudah kehabisan napas dan benar-benar tenggelam. Jemari lentik yang menyentuh punggung tanganku, ditambah senyum simpul yang diapit dua lesung pipi itu benar-benar menarik kesadaranku. Membawanya ke ujung imaji yang lain.

Lalu, tepat setelah kembang api pertama memecah sunyi udara, aku mendengarmu bersuara. Tak terlalu merdu. Tapi napasmu yang hangat bisa kurasa di setiap bisikanmu yang mengalun syahdu di telinga kiriku. Apa kau tahu? Jika bukan karena kelas drama yang pernah aku ikuti semasa sekolah dulu, mungkin saat itu kau akan melihat betapa merah wajah dan salah tingkahnya diriku. Beruntung, ketenangan luarku tetap terjaga hingga kau menyelesaikan kalimat demi kalimat dalam bisikanmu.

Aku memahami setiap kalimatnya. Setiap kata yang menyusunnya. Tapi, ada satu kata yang tiba-tiba aku lupa artinya. Namun ketika aku bertanya, kau hanya memberikan juluran lidah sebagai jawabannya. Aku sedikit kesal, tapi wajah menggemaskanmu itu memupusnya. Ya, aku pun menyerah dan urung kembali bertanya.. Sebagai balasan, aku meraih pucuk rambutmu lalu mengacaknya. Membuatmu memamerkan muka masam yang sangat kusuka.

Apa kau masih mengingatnya? Aku tahu pasti kau masih, karena senyummu selalu terkembang setiap kali aku menceritakannya kepadamu. Meski harus kuceritakan berulang-ulang, aku tidak akan pernah bosan. Meski semua orang menganggapnya percuma, aku dan seluruh kisah kenangan tentang kita akan selalu ada. Sekalipun karena Alzheimer kau akan kembali terlupa, hingga aku tak mampu berkata, aku akan selalu bercerita. Membuatmu untuk kembali mengingatnya. Atau, setidaknya, membuat dirimu selalu mengetahuinya. Bahwa kau pernah dan akan selalu menjadi kenangan yang tak akan tersisih di sudut terindah ceritaku.

Aku masih dapat mengingat punggungmu yang selalu kudekap dari belakang itu. Meski kini tak lagi bisa kudekap apalagi kulihat, tapi ketahuilah, aku masih dapat mengingatnya.

~ stratosfer, 070116 
Share:

Dilema | AndraxNindi Story

"Dilema"

Jalanan pagi ini masih nampak lengang. Sepertinya kebanyakan orang masih terlelap dalam tidur setelah menikmati long weekend kemarin. Hanya sesekali ada satu dua mobil atau sepeda motor yang lewat dengan kecepatan cukup tinggi. Sepertinya, bagi beberapa orang, seolah menjadi berkah tersendiri ketika jalan yang termasuk salah satu jalur utama kota ini berubah sepi. Tapi tidak bagi Andra yang tak pernah menggunakan kendaraan, hanya berjalan kaki ke manapun dia pergi.

Langkah kakinya secara perlahan berubah sedikit lebih cepat. Matanya yang biasa menyorotkan rasa malas yang penuh kegelapan saat ini sedang memancarkan sesuatu yang tak biasa. Dia sedikit gelisah. Apalagi ini menyangkut seorang Nindi. Ditambah karena Nindi salah paham. Dan Andra paham betul bagaimana seorang Nindi jika sedang salah paham.

Pernah suatu waktu Nindi tanpa sengaja melihatnya keluar dari rumah salah seorang teman mahasiswa Nindi. Kebetulan, Nindi dan orang itu sedang tidak akur. Nindi yang sudah kepalang kesal menuduhnya ini-itu. Dan karena hal itu, Nindi sama sekali tak mau bicara dengannya selama satu minggu. Bukan ketika Nindi tidak mau bicara yang membuat Andra gelisah, tapi suasana yang terasa ketika mereka berjalan berdua tetapi tanpa ada suara. Dia benar-benar tidak menyukainya. Dan kali ini dia harus segera berbuat sesuatu.

Setelah berjalan sekitar 15 menit, Andra menghentikan langkahnya. Bukan karena dia sudah sampai di rumah Nindi, tapi karena ekor matanya menangkap sosok Nindi yang sedang berada di taman. Andra membuang napas, lalu kembali menggerakkan kakinya untuk ke arah Nindi.

"Nih, Nin." Seorang pemuda seumuran Nindi tiba-tiba datang sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam sebotol minuman dingin.
"Thank, Man," ucap Nindi menerimanya sambil tersenyum. Andra mengurungkan niatnya untuk mendekat.

Dia tahu siapa pemuda itu. Arman, ketua BEM di kampus Nindi. Meskipun tidak satu kampus dan juga tak terlalu kenal, Andra cukup tahu seperti apa sepak terjang Arman karena dia termasuk salah satu sosok yang cukup terkenal. Dan tak jarang, Nindi sesekali bercerita tentangnya. Tak ada sama sekali tanda ketika bercerita kalau Nindi mengenal Arman cukup dekat. Tapi saat ini Andra mulai khawatir. Dari balik sebuah pohon, Andra menyimak apa yang sedang dibicarakan oleh mereka berdua.

"Kamu tadi darimana, Nin?" tanya Arman.
"Dari pujasera," jawab Nindi singkat tanpa menoleh.
"Ngapain? Habis beli apa?" tanya Arman lagi. Pertanyaan Arman membuat Nindi teringat sesuatu. Dia lupa kalau sedang memesan makanan dan tiba-tiba saja lari.
"Ah, aduh. Aku lupa makananku." Nindi menghela napas.
"Jadi kamu belum makan? Gimana kalau makan bareng aku? Hitung-hitung kencan, hehehe," ajak Arman. Andra tersekat.
"Kencan?" tanya Nindi. Dia masih belum mengerti arah pembicaraan Arman.
"Ups." Arman terdiam sejenak, lalu tiba-tiba berdiri di depan Nindi. Dia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya.
"Nin, aku udah lama suka sama kamu. Mau nggak kamu jadi pacarku?" Kalimat itu mengalir mulus tanpa ada kegugupan sedikit pun. Nindi, yang sedang dalam keadaan tidak baik, justru merasa gugup dan aneh.

Jadi selama ini Arman, salah satu mahasiswa populer di kampus, jatuh cinta kepadanya? Sungguh sesuatu yang tidak disangk-sangka. Sama seperti Andra yang saat ini tak bisa bergerak dari tempatnya. Dadanya tiba-tiba terasa panas. Ada sesuatu yang terasa mengancamnya. Mengiris tipis-tipis jantungnya.

Belum sempat Nindi menyampaikan jawaban, tiba-tiba terdengar suara ranting patah dari arah belakang. Nindi dan Arman menoleh. Ekspresi terkejut di wajah Nindi tak bisa disembunyikan. Matanya tidak menatap ke sebuah ranting kering yang seolah sengaja berada di bawah sepatu Andra, tetapi ke arah Andra yang juga memasang ekspresi terkejut.

"Ndra ak-- Andra!" Andra sudah berlari menjauh sebelum suara Nindi dapat menjangkaunya. Dia berusaha bangkit dan ingin mengejarnya, tetapi lengannya ditahan oleh Arman.
"Nindi. Dia siapa? Pacar kamu?" tanya Arman.
"Maaf, Man. Aku harus ngejar dia." Nindi segera berlari meninggalkan Arman yang hanya bisa diam menyusun satu demi satu rangkaian kejadian yang berlangsung baru saja.

Sepertinya Nindi masih tidak bisa mengalahkan Andra untuk urusan berlari. Dia sudah hampir kehabisan napas dan memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya ke sebuah bangku. Tanpa sepengetahuannya, seorang wanita mendekat. Dengan ramah mengulurkan tangannya.

"Hai. Benar kamu yang namanya Nindi?" Suara itu sontak mengagetkan Nindi.
"Eh, i-iya. Benar." Nindi mencoba menerka siapa wanita yang ada di hadapannya saat ini, tapi tidak mendapatkan petunjuk apapun.
"Kenalin, aku Nayla. Sepupu Andra," ucap Nayla memperkenalkan diri.
"Nindi," balas Nindi singkat.

Perkenalan singkat itu awalnya hanya membawa aura canggung karena masing-masing dari mereka lebih memilih bertanya tentang hal-hal yang tergolong 'aman' untuk ditanyakan. Tapi berkat kelihaian Nayla, suasana itu berangsur cair hingga mulai terdengar canda dan tawa di sela-sela pembicaraan mereka. Terlebih setelah Nayla menjelaskan kalau apa yang Nindi lihat di warung beberapa waktu yang lalu adalah dirinya.

"Ah, jadi aku yang salah sangka. Duh, maaf ya Nay."
"Nin, aku mau minta tolong sama kamu," pinta Nayla tiba-tiba.
"Minta tolong apa, Nay?" Nindi mengernyitkan dahinya yang masih sedikit berkeringat.
"Tolong bujuk Andra supaya mau nerima tawaran kerja di Inggris." Nindi tidak bisa langsung merespon kalimat itu. Kepalanya tiba-tiba berusaha mengeja ulang kalimat tersebut dari awal. Dan di beberapa kata, ada sesuatu yang seperti menghantamnya. Andra, kerja di Inggris.
"Maksud kamu apa, Nay? Andra ke Inggris?"
"Iya, Nin. Papaku, om-nya Andra punya sahabat di sana yang butuh banget tenaga IT. Dan papaku langsung keinget sama Andra. Aku datang ke sini buat ngebujuk Andra, tapi dia bersikukuh nolak tawaran itu." Nayla menjelaskan panjang lebar.
"Lalu, kenapa kamu minta tolong ke aku, Nay?" tanya Nindi lagi. Nayla tak langsung menjawab. Dia seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat.
"Alasan Andra menolak tawaran itu, dia bilang kalau di sini, dia punya seseorang yang sangat dia cintai. Dan nggak mungkin dia tinggal pergi, Nin. Dan setelah melihat kalian tadi, aku jadi tahu kalau seseorang yang dimaksud Andra itu kamu."

Dada Nindi terasa sesak. Dia sudah tahu kalau Andra memiliki perasaan kepadanya. Tapi kenyataan kalau dia belum benar-benar jujur pada perasaannya sendiri di saat Andra akan pergi sangat memukulnya. Terlebih kali ini, dia harus bisa meyakinkan Andra agar mau pergi. Apakah dia mampu?

Hampir setiap hari dia selalu bersama Andra. Dan sebentar lagi, akan ada waktu ketika kebersamaan itu berlalu. Nindi sepenuhnya sadar, kalau dia bisa saja dengan egois menolak permintaan Nayla agar Andra tidak pergi. Agar dia bisa selalu berada di sampingnya. Tapi di sudut kecil di dalam dirinya, dia sangat menginginkan yang terbaik bagi Andra. Dan Inggris sepertinya menjanjikan hal itu. Dilema dalam pilihan yang tidak pernah dia alami sebelumnya.

"Oke, Nay. Aku akan bujuk Andra," ujar Nindi sambil menahan air mata yang sudah menggantung di ujung matanya. 

~ to be continued
Share:

Index Cerita : AndraxNindi

Oke, berhubung cerpen maupun flashfic dari AndraxNindi udah lumayan meskipun nggak banyak, saya memutuskan untuk membuat index post kumpulan cerita AndraxNindi. FYI, cerpen pertama dari kumpulan cerita ini ditulis secara absurd karena alur dan ending-nya sendiri sama sekali nggak saya rencanakan. Tiba-tiba mengalir gitu aja menjadi sebuah cerita. Dan karena saya sendiri jatuh hati pada pasangan ini, maka jadilah beberapa cerita tentang karakter Andra dengan sikap pura-pura nggak pekanya dan Nindi yang cenderung manja, agak temperamen tapi sensitif.

Ps. Cerita AndraxNindi sebenarnya ditulis tanpa urutan waktu yang sengaja diatur, jadi ada beberapa cerita yang memang nggak nyambung, atau punya alur sendiri. Tapi ada beberapa cerita atau bagian cerita yang terpakai di cerita lain.

Enjoy!

Index :
#6 : Seseorang
#7 : Coming soon~
Share: